“Anak-anak mulai sekarang kita buat kesepakatan yuk,” ajakku.
“Kesepakatan apa?”
“Mulai sekarang, di kelas ibu tidak ada kata negatif! Harus positif semua!” terangku. Mereka berkerut.
“Trus tidak ada kata ‘tidak’”, aku menambahi.
“Yaaa… bu Fauziah selalu aneh-aneh,” kata mereka serempak.
Hehehe.. entah ini tugas keberapa yang membuat mereka berkerut.
Sebelum tugas ini kuberikan, aku berusaha menghindari kata negative/kata tidak terlebih dahulu. Biar ndak keceplosan ketika kesepakatan ini diterapkan.
Misalnya, “jangan terlambat” diganti dengan “besok datang lebih awal ya Mas/Mbak (nama),”
“Jangan buang sampah sembarangan,” à “Mas/Mbak (nama) membuat sampah pada tempatnya yuk.”
“Jangan ramai!” à “senang sekali kalau mas/mbak (nama) bias tenang dan mau memerhatikan pelajaran ibu.”
“Jangan nakal!” à “apapun yang mas/Mbak (nama) lakukan, ibu tetap sayang dengan mas/mbak. Karena ibu percaya mas/mbak bias menjadi lebih sholeh,”
“Belum bisa Bu!” à “aku akan terus berusaha Bu!”
Dan beberapa kalimat lain.
Lha seperti biasa, sebelum kami praktik ini. Aku menceritakan dari mana inspirasi ini berasal. Kuceritakanlah kalau pembiasaan ini berasal dari film Yess Man dan karena mereka masih kecil maka kami menyebut pembiasaan ini Yes Child.
“Bu, aku sudah melihat film itu!” kata Azizah.
Aku terdiam, mengingat di film tersebut ada adegan yang membuatku menutup mata.
“Mbak Azizah lihat sampai selesai?” tanyaku.
“Ndak, sama abi cuma dilihatin bagian awal,” dia menggelengkan kepala.
Alhamdulillah.
“Sip Mbak, bagian yang bagus memang yang bagian awal saja,” ujarku.
“Ok, kalian siap?” kualihkan pandangan ke seluruh ruangan kelas.
“Siap!”
“Great!”
Sejak hari itu, minggu kedua bulan April kesepakatan menjadi Yess Child kami mulai.
Kelas menjadi lebih tenang, karena sebelum berucap mereka pasti memilih kata terlebih dahulu.
Lha enak-enaknya memberi nilai, si Azizah dating, “Bu Fauziah, ini boleh dibuat PR?” sambil tersenyum.
“Ehm.. mulai deh dia ngerjai aku,” batinku.
Ya aku dan Azizah ada kedekatan secara personal. Ndak tahu kenapa pertama melihatnya kami ada kecocokan. Dulu, kalau pas ada waktu luang, seminggu sekali kami pergi ke pepustakaan bersama untuk baca buku. Tiap minggunya dia bias menghabiskan 5-6 buku. Aku mengikuti perkembangannya. Makin hari dia makin cerdas. Karena dekatnya, sampai-sampai ia selalu cerita tentang keluarganya ke aku. Bagaimana keluarga abi, bagaimana keluarga umi, kebiasaan abi, kebiasaan ummi, kebiasaan adik, sahabat dekat, dan lain-lain. Bahkan dia berusaha mencarikan suami melalui abi dan ummi. Yang membuatku tak kalah kaget, ia juga menyarankan agar aku punya tempat tinggal di dekat sekolah agar dekat dengan tempat kerja. Ehm.. my daughter. Segitunya.
Ok, kembali ke pertanyaan tadi, “Bu Fauziah ini boleh dibuat PR?”
Dia tahu, aku tidak mungkin menjawab dengan jawaban “tidak boleh” dan dia tersenyum ketika aku berpikir memilih kata yang pas untuknya.
Senyum itu, senyum simpul kalau kami sedang usil satu sama lain. Hehehe…
“Untuk lain kali boleh mbak, namun untuk saat ini, ibu minta mbak Azizah mengerjakan di sekolah,” jawabku.
Dia tersenyum, “ibu pintar!” ujarnya. Hehehe belum tahu dia..ups..
Selesai pelajaran aku mendekatinya, “Ibu tadi tahu kalau mbak ngerjai ibu,” kataku sambil tersenyum.
“Lha ibu sih, selalu aneh-aneh. Jadi aku nyoba tes ibu,” sambil tersenyum.
Ehm.. nak nak….
Minggu kedua April 2012