“Semoga Allah memberi saya rejeki yang halal, apapun yang masuk ke perut saya adalah makanan yang halal. Apabila saya makan makanan dari hasil yang tidak halal, semoga saya tidak semakin kenyang tapi semakin lapar.” Inilah doa yang sering saya dengungkan saat menjadi guru.
Bukan tanpa sebab. Ada beberapa pengalaman yang membuat saya mengucapkan kalimat itu.
Pernah suatu hari, kepala sekolah meminta saya membubuhi stempel di laporan BOS yang super tebal. Saya terima buku BOS dengan hormat dan mulai membubuhi.
Namun tiba-tiba hati saya berkata, “kalau BOS ini benar, semoga saya bisa menyelesaikan tugas dengan baik, tapi kalau sebaliknya semoga saya melakukan kesalahan,” entah darimana celetukan itu datang.
Saya memberi stempel dengan santai, karena pemberian stempel ini bukan hal baru. Cara memberi stempel dari dulu sama, dibubuhkan di sebelah kiri tanda tangan.
Tapi apa yang terjadi?
Setelah dicek kepala sekolah, stempel yang saya bubuhkan teryata salah letak. Harusnya di sebelah kiri malah saya letakan di sebelah kanan tanda tangan. Entah dimana pikiran saya saat itu, ketika menekan stempel, saya merasa sudah di tempat yang tepat. Tapi ternyata…
Akhirnya kepala sekolah meminta saya mengerjakan tugas lain dan beliau menghapus stempel yang salah tadi satu per satu. Ndak tega lihatnya. Buku setebal itu? Tapi bagaimana lagi, saya tidak bisa menghapus stempel itu. Pernah dulu mencoba, tapi malah kertasnya robek karena saya terlalu semangat menghapus.
Sejak kejadian itu, kepala sekolah tidak pernah meminta saya untuk mengerjakan laporan BOS lagi.
Hari lain, saat itu saya di kantor guru untuk menyelesaikan nilai. Kebetulan tidak ada jam mengajar. Seperti biasa, kalau guru sedang kumpul pasti ada yang dibicarakan, mulai dari murid, BOS, kurikulum, kehidupan rumah tangga, sampai harga sayur mayur.
“Saya bingung nulis laporan BOS, dari kemarin pemasukan dan pengeluaran tidak sama. Sampai-sampai saya tulis Bu Fauziah dapat uang Rp… agar pas,” kata bendahara BOS.
Saya yang merasa tidak mendapatkan uang sejumlah nominal itu langsung mendongakan kepala.
“Lho Bu Fauziah ada di sini tah? Saya pikir tidak ada,” ujar bu bendahara. Saya diam saja, maklum masih guru sukwan.
Sepertinya bu bendahara tidak tahu kalau saya ada di tempat yang sama ketika beliau mengucapkan kalimat tersebut. Dari sini saya mulai hati-hati ketika mendapatkan uang selain dari gaji. Sebelum menerima, selalu tanya, “uang apa ini?”
Selain itu tak jarang dana BOS harus disunat oleh petugas. Pengeluaran ini tidak diperkenankan untuk dicatat dalam buku laporan yang dibuat sekolah.
Tak hanya itu, hampir setiap tahun ajaran baru saya harus “melarikan diri” ke luar kota. Mengapa? Inilah resiko salah satu pembuat soal masuk siswa baru. Ada saja orang tua yang ingin agar putranya les di saya. Dengan kata lain, kalau belajar dengan saya, nanti kurang lebih tahu model tes masuknya.
Karena saya masih baru -sukwan pula- saya hanya bias memulai dari diri sendiri. Membiasakan kebiasaan positif pada diri dan anak-anak. Mulai dari hal kecil. Tidak mencotek ketika ujian, tidak mengambil barang yang bukan miliknya (misal kapur), dan perilaku positif lain. Pembiasaan yang baik akan menjadi kebiasaan yang baik bukan?
Namun, lama-lama saya mulai kurang nyaman. Sejak saat itu dan sejak beberapa kejadian lain yang hampir sama, saya mulai tidak betah bekerja. Sepertinya budaya anti korupsi yang digalakan KPK perlu lebih menyentuh dunia pendidikan, khususnya daerah pinggiran.
Tiap hari saya selalu berdoa, “jika saya belum bisa membawa perubahan yang lebih baik di sekolah ini, jika saya malah tidak bisa mempertahankan kejujuran saya di sekolah ini, semoga saya mendapat sekolah yang lebih baik.” Ya, saya hanyalah guru sukwan di sana.
Ternyata Allah mendengar doa saya, tak lama setelah itu, dosen saya seorang muslim yang taat dan bercita-cita mulia, mengajak saya untuk ikut serta membangun sekolah Islam yang murah. Ini adalah salah satu cita-cita saya sejak kuliah, yaitu mengajar di sekolah Islam dengan biaya yang dapat dijangkau masyarakat. Senang sekali mengajar murid-murid dengan pendidikan yang islami, membentuk masa depan murid yang sholeh, cerdas dan berakhlak aswaja. (Fauziah Rachmawati)
- Blog keren nih...