“Hari ini saya belajar banyak hal dari si Cerdik, saya pikir karya si Pintar punya si Cerdik karena hari Selasa saya siapin botol, tusuk sate, malam, lakban, kresek dll. Malah dia tidak membawa kertas emas. Ada rasa kecewa.”
Kubaca SMS salah satu wali murid dengan hati sesak. Jariku menekan beberapa tuts huruf di Hape, mengatur kalimat jawaban. Namun…
“Bu Fauziah, rapat,” teriakan satu guru membuat kalimatku terputus. Aku berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk rapat rutin mingguan.
“Begitu tahu karya si Cerdik tidak lebih bagus dari si Pintar, tapi mungkin ada imajinasi lain di kapal si Cerdik yang tidak kita tahu, yang buat saya trenyuh,”
Perasaanku ndak karuan, ingin kubalas SMS tersebut dan menjelaskan runtutan kejadian, satu pengalaman yang membuatku bangga dengan si Cerdik. Akhlak mulia yang kutemukan pada dirinya beberapa bulan ini. Namun, kondisi rapat membuatku mengurungkan niat tersebut.
Ceritanya, setiap kenaikan kelas di SD tempat aku mendidik selalu ada program proyek akhir. Di proyek akhir ini masing-masing anak membuat karya yang nantinya dipresentasikan di depan bererapa teman dan dan orang tua.
Tema proyek ini sesuai dengan salah satu tema yang disusun dalam satu tahun, Untuk kelas 1 SD –karena saya walikelasnya- saya mengambil tema lingkungan. Produk yang dibuat berasal dari barang bekas.
Lha proses pembuatan ini dilakukan di sekolah. Tidak boleh dikerjakan di rumah. Jadi benar-benar menjaga keaslian karya.
Hari Selasa anak-anak membawa bahan dari rumah. Hari selasa itu juga mulai mengerjakan. Proses pengerjaan sampai hari Kamis. Jum’at belajar presentasi, Sabtu presentasi di depan teman dan ortu.
Si Cerdik membawa beberapa bahan yang disebutkan sang mama di SMS. Hari pertama ia sukses membuat kapal selam dari botol bekas. Ini membuat beberapa teman ngambek karena karyanya tidak sebagus punya si Cerdik, ada yang nangis juga.
“Bu boleh ganti karya?” tanya beberapa murid.
Aku menganggukan kepala.
Keesokan harinya si Pintar membawa bahan seperti yang dibawa si Cerdik. Dia membuat kapal selam dengan bantuan si Cerdik.
Si Pintar senang karyanya jadi.
Beberapa anak berhasil menyelesaikan karya di hari kedua. Tapi juga ada yang masih bimbang dan mau ganti lagi.
“Bu, ini mau kubuang, jelek!” ujar si Riang.
“Lho bagus lo Mbak, tinggal nambahi hiasan sedikit,” si Riang membuat rumah kucing dari kardus.
“Ndaaaaaakkk maauuuuu,”
Kalau sudah begini, aku hanya bias tersenyum. Dia pasti punya imajinasi yang lebih keren.
“Riang, berneran itu dibuang?” si Pintar menunjuk kardus yang dibawa. Riang menganggukan kepala. Setelah minta izin, si Pintar meminta kardus tersebut dan menaruhnya di bawah kapal selam. Jadinya semacam landasan kapal selam.
“Boleh juga nih anak,” batinku.
Si Cerdik, ia kembali bereksperimen dengan karya temannya, membantu mereka menyelesaikan proyek akhir.
Hari Sabtu, hari yang ditunggu. Dag dig dug mereka memresentasikan karya di depan orang tua. Ada yang dating ibu saja, ada yang dating ayahnnya saja, dan ada yang ibu dan ayah.
Kalau ingat jaman dulu, pas kelas 1 SD aku bener-bener ndak berani kalau diminta maju di depan kelas. Bahkan untuk tes menyanyi saja aku selalu berbisik nyanyinya. Hahahaha…
Dan sekarang muridku melakukan presentasi tidak hanya di depan teman, tapi juga ortu. Anak jaman sekarang luaaaaaarrrr biasaaaaaaa!
***
Kembali ke cerita SMS, di akhir rapat hapeku bergetar lagi, “kata Si Cerdik nggakpapa Ma punyaku jelek tapi aku dapat pahala. Ternyata hasil karya si Pintar dibantu si Cerdik. Yang membahagiakan buat saya ternyata si Cerdik punya tujuan besar di luar perkiraan kita semua yaitu berbuat sesuatu untuk mendapat pahala dari Allah. Jujur Bu, saya nangis bahagia ini.”
Deg…
Alhamdulillah akhirnya semua terungkap tanpa harus kujelaskan.
Selesai rapat segera kuraih hape, “Maaf bu saya baru balas, tadi masih rapat. untuk proyek akhir Mas Cerdik memiliki ide yang unik, imajinasi yang luas, dan loyalitas yang tinggi dibanding yang lain. Saya amati 2-3 bulan ini Mas Cerdik lebih perhatian ke beberapa teman. Tak jarang ia membantu A, B, C, D, dll. Bahkan beberapa proyek akhir teman-teman juga dibantu,” aku menyebutkan beberapa nama.
Ya, SMSku tak berlebihan. Sejak celetukanku pas ia jatuh dan berdarah, “Mas, Mas tahu ndak kalau itu teguran dari Allah. Alhamdulillah Allah menegur Mas dengan luka yang sedikit, itu tandanya Allah sayang Mas dan ingin Mas jadi anak sholeh”, ia mulai banyak berpikir dengan apa yang dilakukannya.
Si Cerdik jadi mempunyai rasa bersalah. Menenangkan teman yang nangis karena tidak sengaja disenggol dan terbentur, menghiburnya, membelikannya kue, mengajari teman yang belum bias nulis, dan memberi semangat teman-teman yang tidak berani maju. Perubahan yang membuatku berbunga-bunga ^_^.
“Terimakasih Bu atas perhatiannya, si Cerdik mengajari saya betapa dia bangga melihat temannya sukses, sedangkan kita masih suka membanggakan diri sendiri, egois, kadang iri dengan kesuksesan orang lain. Terimakasih.” SMS Mama si Cerdik lagi.
Air mataku menetes saat membacanya.
“Sama-sama Bu, ini semua juga berkat kerjasama Ibu dan Bapak. Saya bangga memiliki murid Mas Cerdik,” balasku.
Untuk beberapa menit tak sanggup aku menahan air mata yang terus bercucuran. Terimakasih banyak Nak, kau mengajari ibu banyak hal.
Ah.. anak-anak di setiap namamu selalu ada cerita yang akan ibu kenang. Terimakasih ya Allah, Kau beri aku kesempatan mengenal mereka. Generasi yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik, InsyaAllah…
Sumberpucung, 3 Juni 2012