twitter
rss



Memandangi anak-anak, bila poin itu bias dikatakan hobi, saat ini aku memilihnya untuk menjadi hobi.

Entah mengapa sekarang aku lebih sering memerhatikan mereka. Selalu ada saja tawa, meski sebenarnya hati ini gundah, deg-degan, dan khuatir. Bagaimana tidak?! Saat para guru sibuk mengeringkan lantai yang basah karena hujan, mereka malah asyik ‘memanfaatkan’ air itu untuk kejar-kejaran.

Melihat mereka berseluncur, berkejaran, hatiku was-was! Bagaimana kalau jatuh? Teratuk lantai ataupun bertubrukan dengan teman. Jujur Nak.. ibu khuatir.

Tapi ternyata wajah mereka tidak menunjukan rasa itu, mereka tetap riang berseluncur. Ehm…

Sampai akhirnya, kami membuat perjanjian. Mereka boleh tetap bermain asal tetap hati-hati dan dilarang menangis!

Tiga hari berteman air hujan yang bocor membuat kelas kami makin meriah! Belajar ditemani tetesan dari atap, bangku jadi lebih fleksibel (didesain guna menghindari tetesan), aku lebih sering di tengah-tengah mereka (karena bocor, posisi kelas melebar), dan anak-anak lebih senang lewat jalan yang basah…hahaha…

Sempat aku heran, mengapa mereka lebih suka lewat lantai yang tergenang air? Apa tidak risih ketika kaos kaki basah? Mereka benar-benar menikmati!

So selama musim hujan, kami para guru meminta anak-anak untuk melepas kaos kaki. Selain agar tidak bau, juga agar tidak kena penyakit air.

Anak-anak… selalu bisa memandang peristiwa dari sudut yang berbeda.

Hari keempat Alhamdulillah hujan tidak begitu deras, dengan kata lain tidak bocor dan tidak ada air yang tergenang. Syukur kupanjatkan pada Allah. Aku bias mendidik dengan lebih maksimal karena tidak lagi mengeringkan si air.

But… ternyata… anak-anak malah menjadi resah…

Saat istirahat, ada saja yang mereka lakukan! Tak sengaja numpahin air termos bekal dan mulai meratakannya di lantai! Uhhhfff.., kalau airnya sendiri nggak apa-apa, lha ini ada juga air bekal teman yang dipakai… parahnya pemilik air yang ‘tak sengaja’ ditumpahin merasa fine-fine saja… duuuuhhh…

So, acara berseluncur mulai menghiasi kelasku dan aku hanya bias memandangi mereka dengan tersenyum, meski juga kadang lebih banyak mengelus dada… hahaha…

“Kalau sudah main, dikeringkan lo ya…” pintaku.

“Iyaaa… “ sambil tersenyum.

Aku pikir, meminta mereka untuk membersihkan air akan membuat mereka urung untuk menumpahkannya. Tapi ternyata… untuk kesekian kalinya aku salah! Mereka malah berebut sapu pel (yang cuma satu) untuk mengeringkan lantai.

“Aku!”

“Aku!”

“Aku!”

Berebut…

“Gantian ya anak sholeh….”

Ehm… benar-benar dehh… kelasku ndak pernah sepi!

 

Hurriyah, penghujung November 2011


 

 

Mama, papa, adik, Bita saying sama mama, papa, dan adik. Papa jangan merokok lagi ya dan kalau kerja jangan pulang malam-malam ya papa. Aku meminta ini, agar papa sehat.

Mama, kalau buka toko sebelum adik mandi ya, biar duitnya banyak

Tsabita

Papa, Aysar punya hadiah kupu-kupu yang sangat indah

Aysar

Aku sayang mama, karena mama sudah melahirkan dan menyusuiku. Trus pas aku lahir, aku mennagis soalnya aku kedinginan, padahal ketika di perut mamaku rasanya hangat.

Aku janji akan membuat mama senang, aku akan membantu mama seperti menyapu, mengepel, membelikan belanjaan (sayur, ikan).

Aku juga punya adik yang lucu dan cantik. Adik membuatku jadi senang dan gembira. Aku juga saying ayah, soalnya ayahku baik, membelikanku hadiah macam-macam.

Tata

ada teori yang mengatakan bahwa ketika kita bermimpi, sebaiknya mimpi itu kita visualisasikan...

karena akan benar-benar terasa, dan insyaAllah menjadi kenyataan...

so.. yuk kita visualisalisasikan cmimpi-mimpi kita ....

Malang, 2011

Nak semoga gambar yang kalian buat setahun lalu menjadi kenyataan amin...











Alhamdulillah game hari yang pertama berhasil membuat anak mengerti deretan hari,  dapat menebak hari kemarin, lusa, tiga hari berikutnya, lima hari sebelumnya, dan lain-lain.

Permainan hari yang kedua semacam puzzle sederhana. Guru cukup menyiapkan beberapa pertanyaan beserta jawabannya (lebih jelas ada di gambar). Sekilas nampak mudah, karena mereka cukup memasangkan angka-angka yang sesuai. Dua hari ditambah empat hari sama dengan enam hari, lima hari ditambah empat hari sama dengan Sembilan hari, dan bla bla bla.

Kesulitan baru didapat ketika…

“Bu kok tidak pas?”

“Bu, kok sisa?”

“Bu, kelebihan,”

Siswa harus merangkai SEMUA angka dan tanda yang ada. Tidak boleh sisa ataupun kurang! Lha di sinilah butuh pemikiran lebih, siswa harus dapat memilih dan memilah angka untuk soal dan untuk hasil.

Agak lama memang, sempat membuatku ragu. Menunggu dan menunggu, memberi motivasi beberapa anak yang mau menyerah, dan Alhamdulillah ada yang bisa!









Semua guru pasti menginginkan yang terbaik bagi anak didiknya. Bercita-cita semua anak didik sukses dunia akhirat. Berupaya, membuat suasana belajar menyenangkan dan tidak terlalu menekan anak. Apalagi untuk anak kelas bawah, ehm..

Dan yang tak bias dipungkiri, guru juga manusia biasa, punya beragam urusan dan masalah. Merangkap pekerjaan sebagai istri, ibu rumah tangga, anggota masyarakat, PKK, belum lagi kalau dapat amanah di beberapa tempat. Ehm.. coba dibayangkan, betapa sibuknya beliau-beliau ini.

Kali ini, saya coba sharing pembelajaran sederhana yang menyenangkan, tidak perlu banyak modal, hanya kertas, double tip, dan rasa sayang pada murid-murid ^_^.

Langkah awal, kita membuat kartu kata dengan mengetik kalimat-kalimat sederhana (karena kelas 1 SD). Kalimat di sini, diupayakan yang positif d

an membangun. Mengapa? Karena ketika mereka enjoy mengerjakan, kalimat ajaib ini akan masuk ke alam bawah sadar mereka dan bias memotivasi. Selain itu, kata-kata positif ini juga bias menjadi doa lo..

Setelah kartu kata jadi, bagian belakangnya kita tempeli double tip. Selesai…

Next, anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok, tergantung jumlahnya. Sebelum permainan dimulai, kita jelaskan bagaimana prosedur/tata cara per

mainan dan aspek penilaian.

Setelah semuanya sepakat dengan perjanjian, permaian bias dimulai…

Bagaimana serunya…

Ini dia senyum anak-anak saya…









Seperti biasa saat istirahat tiba, anak-anak bermain, makan kue, membaca buku. Dan seperti bias, aku menjadi pengamat mereka ^_^.

Pagi itu ada sekelompok anak berlari-larian, mengitari sekolah yang belum 100% jadi. Senyum mengembang meski keringat bercucuran. Ada yang menubrukku, sembunyi di bawah meja, di balik papan, dan tempat lain. Hingga mereka kelihatan capek, berhenti, dan tertawa bersama.

Asyik-asyiknya mengamati, aku dikejutkan oleh salah satu dari mereka. Sebut saja dia Kayana, salah satu muridku yang pendiam, butuh adaptasi lebih lama unntuk dekat dengan teman-teman, dan lebih suka sendiri.

Hari ini dia berlarian dan bercanda dengan teman-temannya, hatiku girang. Bocah kecil itu mengeluarkan satu sachet wafer isi enam potong. Beberapa teman bergerombol minta. Dengan tersenyum dibagikannya wafer itu hingga bersisa hanya 2 potong. Yang belum kebagian 4 anak. Aku mendekati mereka.

Dalam hatiku, kasihan si Kayana tidak kebagian. Keringatnya mengucur deras, wajahnya memerah, sepertinya dia benar-benar capek.

“Mas minta tolong kalau minta tidak memaksa ya, kasihan Kayana belum kebagian,” ujarku pada beberapa anak.

“Karena tinggal dua, yang satu dibagi,” menyerahkan satu potong untuk tiga anak. Dan satu potong untuk Kayana.

Kayana menerima wafer itu dengan tersenyum, “kresh” dia membagi satu potong itu menjadi tiga bagian. Kemudian menyerahkan dua diantaranya pada teman yang lain. Dengan tersenyum dia memakan bagian terkecil dari wafer itu. Trenyuh aku melihatnya, dia yang membawa tapi dapat yang paling sedikit.

“Mas, nggak apa-apa?” tanyaku.

Ia menggeleng sambil tertawa. Kembali berlarian dengan teman yang lain.

Ehm.. ternyata ketidaktegaanku salah 100%! Aku tidak tega ketika Kayana mendapat bagian terkecil wafer. Namun berbagi malah membuatnya bahagia. Nak… nak… ada saja perilakumu yang membuat ibu terpana.

 

Di sela-sela istirahat 19 Oktober 2011


 

Salah satu bab untuk kelas satu SD adalah bagaimana cara merawat binatang. Seiring dalam kamus hidupku, ketika kita belajar sesuatu harus pula bisa memraktekannya. Begitu pula dengan tema ini, bagaimana anak-anak bisa praktik cara merawat binatang.

So, salah satu jawabannya adalah dengan membawa binatang peliharaan ke sekolah, mengenalkan namanya ke teman-teman, menjelaskan cara merawat, apa makanannya, menceritakan pengalaman ketika bermain dengannya dan lain-lain.

Awalnya aku merasa, ehm berat nggak ya? Namun ketika mendekati hari H setelah anak-anak menceritakan ini ke orang tua, ada banyak respon positif dari orang tua.

“Wah anak-anak semangat sekali Bu,”

“Bu, bagaimana kalau binatangnya ditinggal di sekolah, jadi nanti tiap hari mereka merawatnya,” saran wali murid. Wah luar biasa ini, harus jadi bahan pertimbangan.

“Ananda latihan terus ntar bicara apa saja pas di depan,” sip sip sip… bisa melatih anak-anak berani bicara di depan umum.

“Bu, Mas Huda alergi bulu binatang, bagaimana kalau khusus Mas Huda ndak usah. Soalnya nanti pasti akan keluar bentol-bentol merah di kulitnya,” aku berkerut.

“Ehm.. bagaimana kalau ikan Bu? Jadi Mas Huda tidak perlu memegangnya,”

Kami berdua berpikir, ehm.. apa nggak perlu saja ya?

“Bu, Fatimah, binatang peliharaannya ada di Banyuwangi. Dia ngotot mau bawa,” ujar Ummu Fatimah sambil tersenyum.

“Terus?”

“Kata abi nya mau diposkan, satu hari sampai,”

“Really?”

“Ndak lah bu, bercanda…” hahaha.

“Trus bagaimana Bu?”

“Fatimah masih ngotot,” menahan nafas.

“Sama abinya, diminta bagaimana kalau sekalian kebunnya di bawa ke Malang.” Hahaha.. bisa saja abu Fatimah ini.

Lain Fatimah, lain Ruqo’yah.

“Bu, binatang peliharaanku kambing, bagaimana Bu?”

“Ya, nggak papa, dibawa saja…” hahaha.

“Bawanya gimana?” tanyanya.

“Khan Mbak Ruqo’yah tiap hari diantar mobil,” hehehe.

Bercanda ma anak-anak memang tak ada habisnya. Langsung di hari H saja ya…

Pagi itu, kelas mungilku dikejutkan oleh berbagai macam binatang lucu, Cici kelinci, Hamster Ball, Kiki si Burung, Izza si hamster, dan teman-temannya. Buanyaaakk sih, jadi lupa nama mereka satu persatu.

Ketika pelajaran IPA berrlangsung, hampir semua murid ingin maju, yang biasanya malu pun semangat buat maju. Satu persatu mereka menerangkan cara memelihara binatang, pengalaman bersamanya, dan sebelum kembali ke tempat duduk teman-teman bertanya tentang binatang tersebut.

Ada buanyaaaakkk pertanyaan unik yang disampaikan.

“Jangkriknya umur berapa?” Doni yang ditnya cengar-cengir menatap ke arahku. Aku angkat bahu.

“Nama lengkap kelincimu siapa?”

“Cici,”

“Nama lengkapnya?”

“Ya Cici!” huahuahuaaaaa aku mringis mendengarnya.

“Kok kelincimu warnanya abu-abu ya? Mengapa nggak putih atau coklet?” aku dan Aca mengkerut ketika mendengar pertanyaan ini.

“Ada yang cokelat, si Vito, tapi sudah meninggal,”

“Lho kok bisa meninggal?”

“Nggak tahu aku, pulang sekolah dia sudah meninggal,” duuuuhhh.. nih anak lucu banget…

Ada lagi yang tak kalah unik, “Bu, ikanku belum kuberi nama?” aku menganggukan kepala, “ehm..pengalaman?” dia menggeleng.

“Kok?” aku berkerut.

“Baru tadi belinya,” sambil tersenyum.

“Ok, mau presentasi sekarang atau pertemuan berikutnya setelah mempunyai pengalaman bersama si ikan?” tanyaku.

“Pertemuan berikutnya,”

“Sip, dipelihara dulu ya ikannya,” dia mengangguk.

Inilah salah satu yang kusuka dari anak-anak, jujuuuurrr dan polooosss..hehehe.

Mau tahu gimana serunya?

Cekidot gambar di bawah ini…







 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





 

“Bu Fauziah ada-ada saja!” protes muridku ketika kuminta menghitung awan, pohon kelapa, pohon pisang, buah pisang, dan bambu pagar.

Aku hanya tersenyum, melihat asyiknya mereka menghitung benda-benda itu. Ada yang langsung menulis, ada yang benar-benar menghitung, ada yang bolak-balik karena merasa tidak sama dengan teman-temannya.

“Awannya ada 33, kamu kok 50?”

“Lha aku hitung 50,”

“Punyaku 40,!” tak kupingkiri, aku tersenyum mendengarnya.

“Bu, yang benar yang mana?” menoleh ke arahku.

“Yang mana ya?”

“Bu Guruuuuuu, selalu deh!!!” memukul lembut ke arahku.

Ada yang ribut soal awan, ada pula yang pagar.

Anak-anak cerdas itu kuminta menghitung banyaknya bambu pagar yang dibuat untuk mengelilingi sawah. So bisa dibayangkan beberapa anak, berbaris sambil menghitung bambu itu satu-satu. Aku jaga-jaga di paling ujung, memastikan anak yang sudah tahu duluan tidak memberitahu yang lain.

“Bu, bambunya sepanjang itu yang dihitung?” aku menganggukan kepala. Mereka menarik nafas panjang.

“Selalu deh! Tugas dari ibu aneh-aneh!” hehehe maaf ya Nak, ibu ingin melihat cara kalian berpikir ^_^.

Awan, pagar, lain lagi ceritanya ketika menghitung buah pisang yang ada di pohonnya.

“Bu, pisang yang sebelah sana tidak kelihatan,” mengerutkan dahi.

“Aku bias mengira-ngira,” sahut yang lain.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, yang di bagian belakang itu berapa ya?” menghentikan hitungannya.

Ada juga yang protes, “Bu aku ngawur saja ya jawabnya,” jyaaa…

Ini karena meraka belum boleh turun ke sawah (suatu hari nanti kita turun ke sawah rame-rame ya). Dengan kata lainnya menghitung dari balik pagar bamboo dekat lapangan sekolah. Dari balik pagar saja mereka dah heboh, apalagi kalau terjun ke sawah.. hehehe…

“Ok deh yang kesulitan, boleh menghitung tandan pisangnya saja”

Pengalaman di atas adalah kisahku bersama anak kelas 1 SD ketika belajar berhitung. Maklum kelas satu, kan harus pakai benda konkret. Dan menjadi anugerah tersendiri, SD kami berada di dekat sawah. Ehm.. banyak sekali manfaat yang bias didapat dari cara sederhana itu. Mengetahui cara berpikir kreatif anak-anak, semakin dekat dengan mereka, bias menghirup udara segar, menikmati pemandangan sawah, perhatian dengan alam, dan …. Ada yang mau menambahkan? Silahkan.

Selamat berkreasi guru kreatif.

Malang, September 2011