Sejak kuliah, saya selalu berangan-angan dapat mendidik di sekolah Islam yang biayanya terjangkau, berkualitas, dan menerima semua anak yang daftar.
Mengapa?
Bukan rahasia umum lagi kalau sekolah Islam di Indonesia, ehm tak jauh-jauh deh… di kota Malang aja, rata-rata biayanya mahal. Bayangkan biaya masuknya saja jauh lebih tinggi daripada DPP saya kuliah.
Dan mengapa saya memilih sekolah yang menerima semua siswa dengan kata lain tidak menolak siswa yang “kurang”? karena saya yakin setiap anak pasti memiliki kelebihan, minimal satu kelebihan lah. Dan bukankah semua ciptaan Allah tak ada yang sia-sia? Bukankah segala sesuatu yang diciptakan Allah pasti berhikmah?
Trus menurut penelitian, kecerdasan seseorang itu selalu berkembang. Menurut Gardner, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Kebiasaan untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai kreativitas dan kebiasaan yang yang menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).
Alhamdulillah tahun 2010 saya menemukan sekolah tersebut dan ditawari untuk bergabung di sana (semoga untuk seterusnya sekolah ini akan tetap terjangkau dan berkualitas. Aamiin).
Bias dibayangkan bagaimana proses mendirikan sekolah yang minim biaya.
Kelas pertama kami adalah pos perumahan yang disulap menjadi tiga ruangan: ruang kelas, kamar mandi+wudhu, dan koperasi. Untuk kantor menyewa salah satu rumah di perumahan tersebut.
Bagaimana dengan gaji guru? Saat itu saya masih baru lulus kuliah (belum lulus dink, nunggu wisuda), masih semangat-semangatnya memraktekan ilmu yang saya dapat. Jadi terkait gaji, saya tidak terlalu masalah. Meski sampai sekarang gaji yang didapat tidak sampai UMR kota Malang, Alhamdulillah selalu ada rejeki lain yang dating di tiap bulannya. Tinggal yakin Allah pasti tidak akan membuat saya kekurangan. Hehehe. Owh ndak usah bahas ini, kembali ke sekolah saya, maaf sebelumnya ini bukan promosi tapi hanya sharing pengalaman saja ^_^.
Tahun 2011, kami mendapat beberapa murid yang luar biasa. Salah satu anak luar biasa itu adalah si Jenius. Guru-guru TK tempat dia belajar sebelumnya menceritakan bagaimana kondisi mas Jenius. Dia slow learner, aktif, dan ada sedikit kekurangan di tubuhnya. Ketika masuk SD belum begitu mengenal huruf.
Yang tidak disangka-sangka, kepala sekolah memilih saya sebagai wali kelas di kelas ajaib ini. Uhhhffttt.. padahal di antara guru tetap saya yang belum nikah! Dengan kata lain pengalaman mengurus anaknya kurang.
Bismillah saya coba…
Cukup lama saya meneliti mas Jenius, karena satu kelas satu guru jadi saya harus memusatkan perhatian pada semua anak.
Sampailah pada perbincangan saya dengan pak Ashari dan Bu Ida (dosen Univ Negeri Malang), saya menceritakan keunikan murid saya ini.
Beliau memberikan trik, bagaimana kalau tiap hari dibuat target untuk mas Jenius? Missal hari ini dia belajar huruf ABC. 2-3 hari (sampai dia hapal) kami menggeluti 3 huruf itu. Tidak berhenti di kelas, tapi juga di rumah. Sepulang sekolah, saya SMS ke ibu mas jenius, “Bu hari ini mas Jenius belajar huruf A, B, dan C. mohon kerjasama Ibu dan Bapak. Terimakasih.”
Begitu juga dengan angka, misalkan hari ini belajar angka 5. Di rumah dikondisikan mas Jenius juga menemui angka 5 di beberapa hal. Dapat permen 5, mobilnya ada 5, bangun jam 5, dan lain-lain.
Trik ini membuahkan hasil yang lumayan, Mas Jenius mengalami peningkatan, huruf hapal A-O, angka 1-20 lancar (dari depan dan dari belakang).
Sampailah saya benar-benar sibuk dengan sedikit “melupakan” kegiatan rutin kami. Saat itu bulan April-Mei, sekolah menyiapkan open house, PSB, outbond, kegiatan rutin mingguan, dan lain-lain.
Ada rasa bersalah jika satu dua hari tidak SMS wali murid. Saya benar-benar lupa!
Lha di kegiatan sehari-hari, saya biasanya mebuat guru kecil. Guru kecil ini adalah siswa yang sudah selesai mengerjakan tugas terlebih dahulu dan membantu teman lain yang masih kesulitan. Istilah lainnya belajar dengan teman sebaya.
Alhamdulillah beberapa guru kecil saya mempunyai ketlatenan ketika mengajari teman. Kuncinya tidak boleh memberi tahu jawaban, hanya menjelaskan.
Untuk mas jenius, guru kecil ini membacakan soal, mas Jenius menjawab dengan lisan. Trus si guru kecil mendiktekan huruf-hurufnya. Kadang kalau kesulitan, huruf M itu yang bagaimana, kami membuat perumpamaan. M yang kakinya tiga di bawah, N kakinya dua. Dan lain-lain. Senang sekali ketika murid-murid saya membantu.
Ini berlangsung beberapa hari. Saya sampaikan ke orang tua, insyaAllah mas Jenius akan lebih mendapat perkembangan yang pesat jika ada guru pendamping yang selalu membantu dia belajar. Karena saya lihat mas Jenius mempunyai minat yang besar untuk belajar.
Guru pendamping sebenarnya menjadi wacana kami sejak lama, hanya saja karena ada beberapa hal, hal ini belum juga terealisasi. Untuk sementara mas Jenius les di rumah.
Sampailah pada Ujian Akhir Semester 2. Ada rasa iba ketika jawabannya tidak sesuai dengan di benak. Dengan kata lain, dia tahu jawabannya tapi belum bias menyampaikannya dengan tulisan. Ini menjadi pikiran kami para guru.
So, ketika UAS, dia didampingi guru khusus. Salah satu dari guru menemani MAs Jenius. Membacakan soal, mas Jenius menjawab soal (lisan), guru pendamping mendiktekan huruf-hurufnya. Ini berlangsung selama UAS.
Sebagai wali kelas, saya sangat berterimakasih dengan perhatian dan bantuan teman-teman guru. Kami gantian menjadi guru pendamping.
Ini berpengaruh pada pembagian jadwal, dengan guru yang terbatas saya mencoba menyusun jadwal pengawas UAS dan pendamping mas Jenius. Hasilnya, hampir tiap hari kami masuk kelas, entah kelas satu entah kelas dua (sekolah ini berdiri tahun 2010).
Alhamdulillah usaha ini tak sia-sia, nilai mas jenius mengalami peningkatan yang pesat, meski ada juga yang masih remidi. Tapi jika dibandingkan dengan sebelumnya ada kenaikan 2-3 kali.
“Bu, Alhamdulillah usahanya tidak sia-sia, dan bla bla bla,” telepon ibu Mas Jenius.
“Iya Bu, saya juga sangat berterimakasih atas kerjasama Ibu dan Bapak,”
Satu yang saya yakin, Mas Jenius pasti akan jadi orang hebat kelak. Aamiin…
Dan bagi saya, sekolah yang berkualitas adalah memerhatikan kualitas pembelajaran bukan pada kualitas input siswanya. Kasihan anak-anak yang kurang mampu dan “bisa” jika tidak mendapat pendidikan yang sepantasnya, apalagi kalau malah merasa sekolah adalah momok baginya.
So, asyik mana antara sekolah yang menerima semua murid dan menjadikan murid-murid ini unggul (output), dengan sekolah yang hanya menerima murid unggul saja kemudian outputnya tak jauh beda dengan pilihan pertama? Anda sendiri yang bisa menjawab ^_^.
Di Balik Jendela, 12 Juni 2012