Tiga hari ini Sholihah lain dari biasanya. Kurang semangat, murung, dan lebih pendiam. What happen with her? Dalam hati saya bertanya-tanya.
“Tadi sudah sholat Shubuh?” dia mengangguk.
“Sudah sarapan?” mengangguk lagi.
Biasanya dia suka cerita kegiatan di rumah. Tapi akhir-akhir ini tidak ada cerita.
Ada apa ya?
Apa PR terlalu banyak? Perasaan saya jarang ngasih PR. Apa dia bertengkar dengan teman? Sepertinya ndak juga. Apa mungkin ada masalah di rumah?
Dan saking gemesnya lihat dia cemberut, saya minta anak satu kelas untuk pasang muka senyum. Mulai presensi awal sampai akhir. Dan mau ndak mau Sholihah senyum. Tapi senyum dipaksa hehehee.
Ehm.. belum berhasil nih triknya, sayapun membuat satu games sederhana. Satu kelas saya beri selembar kertas. Saya minta anak-anak menulis tiga keinginan mereka dalam minggu ini.
Di kelas saya, masing-masing anak mempunyai mading. Jadi mereka bebas manggambar, menulis, dan membuat karya di mading masing-masing. Lha kartu harapan ini saya minta dipasang di masing tersebut.
Saya cek daftar keinginan anak-anak yang tertempel di mading. Ada yang ingin dapat nilai 100, pingin lebih disayang bunda dan ayah, beli mobil remote, rekreasi ke pantai, dan beragam keinginan yang lain.
Berhentilah saya di mading Sholihah. Daftar keinginannya adalah
- Ingin makan di ….(nama salah satu tempat makan di kota malang)
- Semoga abi dan ummi tidak bertengkar lagi.
- Hapal surat Al-Haqqah
Jleb… ada gerimis di hati ini saat membaca poin nomor dua. Rupanya ini yang membuat dia murung.
Benar dugaan saya, pasti ada sesuatu selain di sekolah. Mengingat saya selalu menjaga anak-anak terus ceria kalau di sekolah. Ceria dengan keusilan-keusilan yang saya buat. Ups..hehehe.
Tulisan Sholihah membuat saya teringat pada satu pengalaman di tahun 2009, saat saya mendidik di salah satu SD di Sumberpucung.
Saat itu saya menerima satu surat dari Riang, salah satu siswa perempuan kelas lima. Gamang saya membacanya… merasakan kepedihan yang menimpa dirinya.
“Aku… aku ingin membahagiakan orang tuaku dengan aku menuruti kata-kata orangtuaku. Tapi aku tak bisa kalau aku harus berpisah dengan ibuku. Aku sangat ingin memberi kado buat ayahku agar dia tidak memisahkan aku dan ibuk. Tapi semakin ayah memarahi aku, semakin aku benci padanya. Kalau aku harus memilh, aku memilih bersama ibuk. Tapi. Ayahku tidak membolehkanku bertemu lagi bersama ibuku. Tapi aku tetap mendoakan orangtuaku, agar mereka bisa akur lagi.”
Di hari yang sama, setelah membaca surat Riang, saya baru sadar kalau HP saya ketinggalan di rumah. Padahal rencananya, setelah dari mengajar saya ke Malang untuk kuliah. Karena ketinggalan, mau tidak mau saya harus kembali ke rumah dulu untuk mengambil benda imut itu. Ya dulu, tahun 2007-2009 saya kuliah di Malang dan kerja di Sumberpucung.
Dalam perjalanan pulang, tepat di dekat gapura belakang sekolah, tiba-tiba perhatian saya mengarah pada seorang Bapak yang naik sepeda. Beberapa detik kemudian, seorang ibu-ibu (naik sepeda juga) mendekatinya.
“Riang ta’ jemput ya?” tanya si ibu.
“Ndak usah,”
“Mau ta’belikan sepatu,” ujar sang ibu lagi, tak ada komentar dari bapak.
Subhanallah… beberapa menit yang lalu (di pelajaran terakhir) tangan ini menerima surat dari Riang, dan beberapa menit kemudian Allah mempertemukan diri ini dengan orang tuanya.
Ketika berpapasan, saya berdoa semoga ibu dan bapak Riang segera baikan.
Saya sangat bersyukur melihat Ibu dan Bapak saya tetap langgeng di usia dua puluh delapan pernikahan. Dan semoga tetap langgeng sampai maut memisahkan beliau. Aamiin…
Saat ini, khayalan saya tiba-tiba berada pada satu titik imajinasi masa depan. Bagaimana nanti dengan keluarga saya? Semoga anak saya tidak sampai menulis surat yang berisi kekhuatiran orang tuanya akan berpisah.
Semoga anak saya selalu bahagia dan tidak menyesal telah ditakdirkan menjadi anak saya.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami suami dan keturunan kami sebagai penenang hati kami. Jadikanlah keluarga kami sakinah sampai di surga kelak. Aamiin…
Hurriyah, 17 Februari 2013