twitter
rss

9786020030074

Penulis: Fauziah Rachmawati Penerbit: Elex Media Komputindo

Genre: Teknologi dan Ilmu Terapan

Judul: Pendidikan Seks untuk Anak Autis

Penulis: Fauziah Rachmawati

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

ISBN: 978-602-00-3007-4

Tebal: 137 hal

Dimensi: 14 x 21cm

Tahun terbit: 2012

Cetakan: ke I

DDC: 649.6

Ada begitu banyak orang yang belum mengetahui secara jelas bagaimana sebenarnya anak autis itu. Biasanya dikarenakan mereka cenderung enggan mencari tahu atau memang disebabkan belum meratanya informasi seputar autisme. Parahnya, sebagian kecil dari mereka memandang sebelah mata terhadap anak autis maupun orang tuanya karena pada umumnya pola tingkah anak autis memang ‘berbeda’ dari anak normal.

Autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Istilah autis ini pertama kali diperkenalkan tahun 1943 oleh Leo Kramer, seorang psikiater dari Harvard, yang telah melakukan pengamatan dan penelitian terhadap 11 penyandang kala itu. Itulah mengapa autis juga dikenal dengan istilah Syndrom Kramer. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi secara utuh, baik verbal maupun nonverbal, sebab anak autis tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, bahasa tubuh, melakukan kontak mata, bahkan membaca ekspresi wajah sekalipun. Inilah yang menyulitkannya beradaptasi di dalam kelompok masyarakat.

“Ketika itu ia mendapati gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh, terlihat acuh terhadap lingkungan dan cenderung menyendiri. Seakan ia hidup dalam dunia yang berbeda.” (halaman 3)

Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman, dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis langsung autis. (halaman 25)

Mengenal dasar-dasar seputar autis adalah menjadi hal penting yang perlu dipelajari oleh setiap orang tua dan anggota masyarakat, siapapun itu, sebab dengan mengetahui gejalanya sedini mungkin, kita dapat melakukan tindak penanganan dan pendidikan yang tepat bagi anak autis, termasuk cara bersikap dan pendidikan seks, yang menjadi fokus buku ini.

Pendidikan seks yang dimaksud oleh Fauziah di dalam buku ini bukanlah tentang kegiatan hubungan seks dan sejenisnya, melainkan membahas bagaimana membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar ia berkembang sebagai pribadi yang utuh dan mandiri, misalnya mampu membedakan antara laki-laki dan perempuan, memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan alat genitalnya, dan hal-hal lain yang sejatinya menjadi bekal kehidupan para penyandang autis. Penyandang autis sama seperti halnya anak normal lain. Mereka juga mengalami rasa suka, cinta, ataupun keinginan seksual seperti umumnya manusia. Yang membedakannya hanyalah tahap perkembangan mental yang tidak normal.
“Terkadang orang lupa memperlakukan anak autis seperti orang normal. Setiap kali akan mengajarkan sesuatu, banyak yang sudah terlanjur skeptis: memangnya bisa, memang mengerti?” (halaman 34)

Pendidikan seks anak autis sangatlah penting diberikan sejak dini karena akan membantu mengurangi stres dan perasaan terisolir yang biasanya muncul pada individu autis remaja. Seperti remaja lainnya, remaja autis pun mengalami masa perkembangan yang kurang lebih sama. Mereka juga mengalami masa pubertas, perubahan emosional, fisik dan sosial.
“Ketika anak-anak kita memasuki masa remaja, orang tua sering dilanda kecemasan. Terlebih pada orang tua dari anak-anak autis. Para orang tua memiliki lebih banyak kekhawatiran, dibayangi kecemasan, bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat-tempat umum, seperti menggaruk-garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, melakukan masturbasi di mana pun saat libidonya timbul. Perilaku seperti itu juga mendatangkan permasalahan baru, karena orang tua harus berhadapan dengan masyarakat yang tidak dapat memahami keadaan yang sebenarnya.” (halaman 48-49)

Tema buku ini menarik, sebab dari beberapa buku bertema gangguan perkembangan yang sudah saya miliki, buku tentang autis memang belum ada, apalagi tentang pendidikan seks untuk anak. Beruntung bagi saya bisa membaca buku ini dan kemudian menyadarkan saya bahwa sebenarnya, sebagai calon orang tua atau minimal anggota masyarakat, kita pun dituntut harus tahu hal-hal yang dibicarakan di dalam buku ini. Orang tua yang dikaruniai anak autis adalah orang tua yang luar biasa, sebab tak mudah mendidik dan merawat anak autis. Mereka membutuhkan penanganan khusus, bahkan profesional, agar mereka bisa diterima dengan baik di masyarakat.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya untuk buku ini. Menurut saya, Fauziah masih tanggung-tanggung dalam memaparkan topik-topik seputar autis dan pendidikan seks. Antara ini buku tentang autisme secara umum atau tentang pendidikan seks secara khusus, saya masih merasa penulis kurang fokus. Misalnya antara bab kedua tentang masalah seksualitas anak autis dengan bab ketiga dan keempat tentang seksualitas remaja autis, mengapa tidak disatukan saja dan dipaparkan lebih detail dan sistematis? Atau di bab keempat tentang identitas dan perkembangan seksual. Mengapa hanya dibahas untuk manusia normal saja? Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah para penyandang autis itu juga mengalami hal yang sama di usia yang sama? Dan apakah kegiatan yang dilakukan sama seperti anak normal lainnya? Bagaimana penanganannya ketika itu terjadi? Tentu akan lebih baik bila ada perbandingan penjelasan juga untuk anak autis sehingga pembaca akan memahaminya lebih baik.

Saya merasa buku ini kurang fokus, kurang sistematis dan kurang efektif jika dimaksud untuk memahamkan secara utuh pendidikan seks untuk anak autis dari A sampai Z kepada pembaca, sebab yang dijelaskan Fauziah cenderung lebih banyak seputar hal-hal umum. Ada banyak pengulangan penjelasan di setiap babnya yang sebenarnya tidak perlu diulang lagi jika bisa disusun secara sistematis.

Tapi syukurnya hal itu hanya saya temukan di empat bab pertama, sebab dua bab terakhir berhasil menutup buku ini dengan baik. Bab kelima membahas pedoman materi pendidikan seks bagi anak autis, termasuk rambu-rambu, tips bagi orang tua, pendidik, maupun masyarakat. Di bab keenam, Fauziah menambahkan strategi pembelajaran seks yang efektif untuk anak autis lewat step by step semacam silabus yang aplikatif bagi orang tua maupun pendidik, mulai dari usia anak 0 tahun hingga di atas 20 tahun. Tak lupa pula diselipkan lampiran berupa contoh-contoh media visual yang bisa digunakan dalam pendidikan seks untuk anak autis, meskipun ada satu dua gambar yang kurang jelas. Inilah yang menurut saya menjadi kelebihan dari buku ini, yaitu pada dua bab terakhirnya yang sistematis dan efektif.

Selain itu, buku ini juga ditulis dengan bahasa naratif yang sederhana dan enak dibaca. Contoh sehari-hari seputar seksualitas anak autis yang pernah diperoleh penulis juga ikut dicantumkan. Ini tentu akan menambah informasi aktual bagi pembaca. Sebagai tambahan, bila penulis bisa menambahkan tip aplikatif untuk masyarakat ketika berhadapan dengan tindakan seksualitas anak autis, mungkin akan lebih bagus lagi. Misalnya ketika di tempat tertentu seseorang bertemu dengan anak autis yang langsung memegang buah dadanya, atau ketika anak autis tiba-tiba memeluknya, atau tindakan lainnya yang biasa dilakukan, maka apa yang harus dilakukan masyarakat saat itu? Tentu masyarakat atau pembaca perlu tahu secara spontan apa yang harus dilakukan, sehingga ini akan turut mendidik masyarakat secara menyeluruh.

Buku ini bagus dibaca sebagai referensi bagi para orang tua dan pendidik yang tengah berinteraksi dengan anak autis dalam memberikan pendidikan seks bagi anaknya. Juga untuk siapa saja yang ingin memiliki pengetahuan dasar sebagai bekal menangani anak autis di masyarakat, agar tidak terkejut nantinya bila dihadapkan dengan masalah yang sama.
“I am the child that looks healthy and fine. I was born with ten fingers and toes. But something is different, somewhere in my mind and what it is, nobody knows” (Bait awal puisi “The Misunderstood Child” karya Kathy Winters)

***Resensi ini dimuat juga di harian Malang Post terbitan Minggu, 3 Februari 2013

2 komentar:

  1. apakah buku ini ada versi e-booknya? kalau mau beli bisa di dapatkan dimana ya? saya udh cari di bbrp toko di kota saya (Bandung) tapi tidak ada

  1. mohon maaf untuk sementara belum ada e-booknya...
    buku ini tersedia di gramedia, toga, dan beberapa toko buku mbak...
    di toga Malang beberapa minggu lalu tinggal satu...
    terimakasih atas apresiasi Mbak Hanny...
    salam kenal :)

Posting Komentar