twitter
rss

Seperti biasa saat istirahat tiba, anak-anak bermain, makan kue, membaca buku. Dan seperti bias, aku menjadi pengamat mereka ^_^.

Pagi itu ada sekelompok anak berlari-larian, mengitari sekolah yang belum 100% jadi. Senyum mengembang meski keringat bercucuran. Ada yang menubrukku, sembunyi di bawah meja, di balik papan, dan tempat lain. Hingga mereka kelihatan capek, berhenti, dan tertawa bersama.

Asyik-asyiknya mengamati, aku dikejutkan oleh salah satu dari mereka. Sebut saja dia Kayana, salah satu muridku yang pendiam, butuh adaptasi lebih lama unntuk dekat dengan teman-teman, dan lebih suka sendiri.

Hari ini dia berlarian dan bercanda dengan teman-temannya, hatiku girang. Bocah kecil itu mengeluarkan satu sachet wafer isi enam potong. Beberapa teman bergerombol minta. Dengan tersenyum dibagikannya wafer itu hingga bersisa hanya 2 potong. Yang belum kebagian 4 anak. Aku mendekati mereka.

Dalam hatiku, kasihan si Kayana tidak kebagian. Keringatnya mengucur deras, wajahnya memerah, sepertinya dia benar-benar capek.

“Mas minta tolong kalau minta tidak memaksa ya, kasihan Kayana belum kebagian,” ujarku pada beberapa anak.

“Karena tinggal dua, yang satu dibagi,” menyerahkan satu potong untuk tiga anak. Dan satu potong untuk Kayana.

Kayana menerima wafer itu dengan tersenyum, “kresh” dia membagi satu potong itu menjadi tiga bagian. Kemudian menyerahkan dua diantaranya pada teman yang lain. Dengan tersenyum dia memakan bagian terkecil dari wafer itu. Trenyuh aku melihatnya, dia yang membawa tapi dapat yang paling sedikit.

“Mas, nggak apa-apa?” tanyaku.

Ia menggeleng sambil tertawa. Kembali berlarian dengan teman yang lain.

Ehm.. ternyata ketidaktegaanku salah 100%! Aku tidak tega ketika Kayana mendapat bagian terkecil wafer. Namun berbagi malah membuatnya bahagia. Nak… nak… ada saja perilakumu yang membuat ibu terpana.

 

Di sela-sela istirahat 19 Oktober 2011


 

Salah satu bab untuk kelas satu SD adalah bagaimana cara merawat binatang. Seiring dalam kamus hidupku, ketika kita belajar sesuatu harus pula bisa memraktekannya. Begitu pula dengan tema ini, bagaimana anak-anak bisa praktik cara merawat binatang.

So, salah satu jawabannya adalah dengan membawa binatang peliharaan ke sekolah, mengenalkan namanya ke teman-teman, menjelaskan cara merawat, apa makanannya, menceritakan pengalaman ketika bermain dengannya dan lain-lain.

Awalnya aku merasa, ehm berat nggak ya? Namun ketika mendekati hari H setelah anak-anak menceritakan ini ke orang tua, ada banyak respon positif dari orang tua.

“Wah anak-anak semangat sekali Bu,”

“Bu, bagaimana kalau binatangnya ditinggal di sekolah, jadi nanti tiap hari mereka merawatnya,” saran wali murid. Wah luar biasa ini, harus jadi bahan pertimbangan.

“Ananda latihan terus ntar bicara apa saja pas di depan,” sip sip sip… bisa melatih anak-anak berani bicara di depan umum.

“Bu, Mas Huda alergi bulu binatang, bagaimana kalau khusus Mas Huda ndak usah. Soalnya nanti pasti akan keluar bentol-bentol merah di kulitnya,” aku berkerut.

“Ehm.. bagaimana kalau ikan Bu? Jadi Mas Huda tidak perlu memegangnya,”

Kami berdua berpikir, ehm.. apa nggak perlu saja ya?

“Bu, Fatimah, binatang peliharaannya ada di Banyuwangi. Dia ngotot mau bawa,” ujar Ummu Fatimah sambil tersenyum.

“Terus?”

“Kata abi nya mau diposkan, satu hari sampai,”

“Really?”

“Ndak lah bu, bercanda…” hahaha.

“Trus bagaimana Bu?”

“Fatimah masih ngotot,” menahan nafas.

“Sama abinya, diminta bagaimana kalau sekalian kebunnya di bawa ke Malang.” Hahaha.. bisa saja abu Fatimah ini.

Lain Fatimah, lain Ruqo’yah.

“Bu, binatang peliharaanku kambing, bagaimana Bu?”

“Ya, nggak papa, dibawa saja…” hahaha.

“Bawanya gimana?” tanyanya.

“Khan Mbak Ruqo’yah tiap hari diantar mobil,” hehehe.

Bercanda ma anak-anak memang tak ada habisnya. Langsung di hari H saja ya…

Pagi itu, kelas mungilku dikejutkan oleh berbagai macam binatang lucu, Cici kelinci, Hamster Ball, Kiki si Burung, Izza si hamster, dan teman-temannya. Buanyaaakk sih, jadi lupa nama mereka satu persatu.

Ketika pelajaran IPA berrlangsung, hampir semua murid ingin maju, yang biasanya malu pun semangat buat maju. Satu persatu mereka menerangkan cara memelihara binatang, pengalaman bersamanya, dan sebelum kembali ke tempat duduk teman-teman bertanya tentang binatang tersebut.

Ada buanyaaaakkk pertanyaan unik yang disampaikan.

“Jangkriknya umur berapa?” Doni yang ditnya cengar-cengir menatap ke arahku. Aku angkat bahu.

“Nama lengkap kelincimu siapa?”

“Cici,”

“Nama lengkapnya?”

“Ya Cici!” huahuahuaaaaa aku mringis mendengarnya.

“Kok kelincimu warnanya abu-abu ya? Mengapa nggak putih atau coklet?” aku dan Aca mengkerut ketika mendengar pertanyaan ini.

“Ada yang cokelat, si Vito, tapi sudah meninggal,”

“Lho kok bisa meninggal?”

“Nggak tahu aku, pulang sekolah dia sudah meninggal,” duuuuhhh.. nih anak lucu banget…

Ada lagi yang tak kalah unik, “Bu, ikanku belum kuberi nama?” aku menganggukan kepala, “ehm..pengalaman?” dia menggeleng.

“Kok?” aku berkerut.

“Baru tadi belinya,” sambil tersenyum.

“Ok, mau presentasi sekarang atau pertemuan berikutnya setelah mempunyai pengalaman bersama si ikan?” tanyaku.

“Pertemuan berikutnya,”

“Sip, dipelihara dulu ya ikannya,” dia mengangguk.

Inilah salah satu yang kusuka dari anak-anak, jujuuuurrr dan polooosss..hehehe.

Mau tahu gimana serunya?

Cekidot gambar di bawah ini…







 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





 

“Bu Fauziah ada-ada saja!” protes muridku ketika kuminta menghitung awan, pohon kelapa, pohon pisang, buah pisang, dan bambu pagar.

Aku hanya tersenyum, melihat asyiknya mereka menghitung benda-benda itu. Ada yang langsung menulis, ada yang benar-benar menghitung, ada yang bolak-balik karena merasa tidak sama dengan teman-temannya.

“Awannya ada 33, kamu kok 50?”

“Lha aku hitung 50,”

“Punyaku 40,!” tak kupingkiri, aku tersenyum mendengarnya.

“Bu, yang benar yang mana?” menoleh ke arahku.

“Yang mana ya?”

“Bu Guruuuuuu, selalu deh!!!” memukul lembut ke arahku.

Ada yang ribut soal awan, ada pula yang pagar.

Anak-anak cerdas itu kuminta menghitung banyaknya bambu pagar yang dibuat untuk mengelilingi sawah. So bisa dibayangkan beberapa anak, berbaris sambil menghitung bambu itu satu-satu. Aku jaga-jaga di paling ujung, memastikan anak yang sudah tahu duluan tidak memberitahu yang lain.

“Bu, bambunya sepanjang itu yang dihitung?” aku menganggukan kepala. Mereka menarik nafas panjang.

“Selalu deh! Tugas dari ibu aneh-aneh!” hehehe maaf ya Nak, ibu ingin melihat cara kalian berpikir ^_^.

Awan, pagar, lain lagi ceritanya ketika menghitung buah pisang yang ada di pohonnya.

“Bu, pisang yang sebelah sana tidak kelihatan,” mengerutkan dahi.

“Aku bias mengira-ngira,” sahut yang lain.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, yang di bagian belakang itu berapa ya?” menghentikan hitungannya.

Ada juga yang protes, “Bu aku ngawur saja ya jawabnya,” jyaaa…

Ini karena meraka belum boleh turun ke sawah (suatu hari nanti kita turun ke sawah rame-rame ya). Dengan kata lainnya menghitung dari balik pagar bamboo dekat lapangan sekolah. Dari balik pagar saja mereka dah heboh, apalagi kalau terjun ke sawah.. hehehe…

“Ok deh yang kesulitan, boleh menghitung tandan pisangnya saja”

Pengalaman di atas adalah kisahku bersama anak kelas 1 SD ketika belajar berhitung. Maklum kelas satu, kan harus pakai benda konkret. Dan menjadi anugerah tersendiri, SD kami berada di dekat sawah. Ehm.. banyak sekali manfaat yang bias didapat dari cara sederhana itu. Mengetahui cara berpikir kreatif anak-anak, semakin dekat dengan mereka, bias menghirup udara segar, menikmati pemandangan sawah, perhatian dengan alam, dan …. Ada yang mau menambahkan? Silahkan.

Selamat berkreasi guru kreatif.

Malang, September 2011