twitter
rss



Pohon kebaikan, kebiasaan ini terinspirasi dari film Pay it Forward. film yang menceritakan tentang seorang anak yang berusaha mengerjakan tugas “aneh” dari gurunya.

“Think of an idea to change our world and put it into ACTION.”

Trevor, nama murid itu. Ia membuat sebuah proyek yang luar biasa. Pay it forward: ketika kita mendapatkan satu kebaikan dari orang lain, hendaknya kita membalas kebaikan itu ketiga orang lain.

“Saya berterimakasih padanya, dan saat itu ada satu hal yang dia katakan untuk menyatakan terimakasih saya, bayar ke orang lain, tiga kebaikan besar untuk tiga orang. Hanya itu.”

Ide unik ini coba saya terapkan ke anak didik saya. Awal memraktikan, anak merasa sulit dan bingung mau berbuat baik ke siapa. Alhamdulillah setelah rutin mengingatkan, banyak dari murid saya yang mulai menerapkan pohon kebaikan ini.

bismillah....

ini dia kelas sederhana kami...

senang sekali jika teman-teman memberi masukan:)

 

“Anak-anak mulai sekarang kita buat kesepakatan yuk,” ajakku.

“Kesepakatan apa?”

“Mulai sekarang, di kelas ibu tidak ada kata negatif! Harus positif semua!” terangku. Mereka berkerut.

“Trus tidak ada kata ‘tidak’”, aku menambahi.

“Yaaa… bu Fauziah selalu aneh-aneh,” kata mereka serempak.

Hehehe.. entah ini tugas keberapa yang membuat mereka berkerut.

Sebelum tugas ini kuberikan, aku berusaha menghindari kata negative/kata tidak terlebih dahulu. Biar ndak keceplosan ketika kesepakatan ini diterapkan.

Misalnya, “jangan terlambat” diganti dengan “besok datang lebih awal ya Mas/Mbak (nama),”

“Jangan buang sampah sembarangan,” à “Mas/Mbak (nama) membuat sampah pada tempatnya yuk.”

“Jangan ramai!” à “senang sekali kalau mas/mbak (nama) bias tenang  dan mau memerhatikan pelajaran ibu.”

“Jangan nakal!” à “apapun yang mas/Mbak (nama) lakukan, ibu tetap sayang dengan mas/mbak. Karena ibu percaya mas/mbak bias menjadi lebih sholeh,”

“Belum bisa Bu!” à “aku akan terus berusaha Bu!”

Dan beberapa kalimat lain.

Lha seperti biasa, sebelum kami praktik ini. Aku menceritakan dari mana inspirasi ini berasal. Kuceritakanlah kalau pembiasaan ini berasal dari film Yess Man dan karena mereka masih kecil maka kami menyebut pembiasaan ini Yes Child.

“Bu, aku sudah melihat film itu!” kata Azizah.

Aku terdiam, mengingat di film tersebut ada adegan yang membuatku menutup mata.

“Mbak Azizah lihat sampai selesai?” tanyaku.

“Ndak, sama abi cuma dilihatin bagian awal,” dia menggelengkan kepala.

Alhamdulillah.

“Sip Mbak, bagian yang bagus memang yang bagian awal saja,” ujarku.

“Ok, kalian siap?” kualihkan pandangan ke seluruh ruangan kelas.

“Siap!”

“Great!”

Sejak hari itu, minggu kedua bulan April kesepakatan menjadi Yess Child kami mulai.

Kelas menjadi lebih tenang, karena sebelum berucap mereka pasti memilih kata terlebih dahulu.

Lha enak-enaknya memberi nilai, si Azizah dating, “Bu Fauziah, ini boleh dibuat PR?” sambil tersenyum.

“Ehm.. mulai deh dia ngerjai aku,” batinku.

Ya aku dan Azizah ada kedekatan secara personal. Ndak tahu kenapa pertama melihatnya kami ada kecocokan. Dulu, kalau pas ada waktu luang, seminggu sekali kami pergi ke pepustakaan bersama untuk baca buku. Tiap minggunya dia bias menghabiskan 5-6 buku. Aku mengikuti perkembangannya. Makin hari dia makin cerdas. Karena dekatnya, sampai-sampai ia selalu cerita tentang keluarganya ke aku. Bagaimana keluarga abi, bagaimana keluarga umi, kebiasaan abi, kebiasaan ummi, kebiasaan adik, sahabat dekat, dan lain-lain. Bahkan dia berusaha mencarikan suami melalui abi dan ummi. Yang membuatku tak kalah kaget, ia juga menyarankan agar aku punya tempat tinggal di dekat sekolah agar dekat dengan tempat kerja. Ehm.. my daughter. Segitunya.

Ok, kembali ke pertanyaan tadi, “Bu Fauziah ini boleh dibuat PR?”

Dia tahu, aku tidak mungkin menjawab dengan jawaban “tidak boleh” dan dia tersenyum ketika aku berpikir memilih kata yang pas untuknya.

Senyum itu, senyum simpul kalau kami sedang usil satu sama lain. Hehehe…

“Untuk lain kali boleh mbak, namun untuk saat ini, ibu minta mbak Azizah mengerjakan di sekolah,” jawabku.

Dia tersenyum, “ibu pintar!” ujarnya. Hehehe belum tahu dia..ups..

Selesai pelajaran aku mendekatinya, “Ibu tadi tahu kalau mbak ngerjai ibu,” kataku sambil tersenyum.

“Lha ibu sih, selalu aneh-aneh. Jadi aku nyoba tes ibu,” sambil tersenyum.

Ehm.. nak nak….

 

Minggu kedua April 2012




Siapa sih guru yang ndak ingin dekat dengan muridnya? Kalaupun ndak dekat, paling nggak pingin menjadi seseorang yang berarti bagi si kecil.

Beberapa hal yang menggembirakan bagiku adalah ketika mereka selalu melingkarkan tangannya ke perutku sambil mengucap Bu Fauziah, atau saat si kecil cerita keluarga, sharing buku yang dibaca, film yang ditonton, makan bekal bersama saat istirahat, dan lain-lain.

Untuk menjaga kelanggengan, setiap minggu harus upgrade diri, harus ada yang beda buat anak-anak. Belajar dari buku, pengalaman, dan film.

Berikut beberapa kebiasaan yang saya peroleh dari berbagai sumber. Senang sekali jika teman-teman mengoreksi dan menambahi. Meminjam istilah teman, “semakin dikritik, semakin membuat kita pintarJ”

  1. Pagi, waktunya penyambutan buat si kecil. Seperti biasa, mereka salim, lha saat itu kita mengusap kepala mereka sambil berkata “barakallahu”. Kebiasaan ini terinspirasi dari my mom, yang selalu mengucapkan Barakallahu saat saya salimJ

  2. Selain mengucapkan barakallahu sambil mengusap kepalanya, tak ada salahnya kita tanya, “tadi sudah sholat Shubuh?”, “Sudah sarapan?”, “Ayo senyum Mas Hilmi mana?”, atau “semangat!”. Kalaupun saat itu jawabannya belum, insyaAllah next time akan mengatakan iya. Siapa sih yang nggak bosen tiap pagi ditanya, “tadi dah sholat shubuh?” di hadapan ortu yang mengantar pula. Hehehe

  3. Ketika istirahat, biasanya kalau saya bawa bekal, kami makan bersama di kelas, saling berbagi dan bercerita. Tak jarang ndulang anak-anak juga (berasa punya anak hahaha), so setiap kali bawa bekal harus bawa nasi lebih. Karena makannya rame-rame. Bekal saya usahakan yang ada sayurnya, karena beberapa dari mereka tak suka sayur. Hal ini lumayan ampuh, keesokan harinya ada beberapa yang cerita sudah mulai suka dengan sayur, meski masih milih-milih. Kalaupun tak bawa bekal, biasanya saya menemani mereka makan di kelas. Kalaupun dari mereka tak ada yang bawa bekal (dan saya tidak sibuk) biasanya kami sekedar cerita. Cerita apa aja…

  4. Saat di kelas (atau dimanapun), segalanya berbicara, dulu ketika kuliah, saya terbiasa memadukan warna untuk pakaian, jilbab, dan gelang. Kebiasaan ini langsung saya hilangkan setelah mendidik. Kenapa? Hal ini berawal dari kecurigaan saya ke anak-anak. Kok mereka suka pakai gelang ya? Ganti-ganti lagi. Setelah saya instropeksi diri. Ternyata salah satu penyebabnya adalah kebiasaan saya yang pakai gelang. Duh merasa bersalah! Sejak saat itu, cukup satu gelang yang saya pakai! Dan tidak ganti-ganti lagi. Selain penampilan, ucapan dan sikap kita sangat berpengaruh. Bismillah.. semoga istiqomah menjaga amanah. Amin

  5. Menjalin ikatan emosi. Salah satunya yaitu menjadi pendengar yang baik buat mereka. Hamper setiap hari saya selalu mendengar cerita pengalaman ataupun dongeng yang keluar dari si kecil. Kadang mereka mengadukan apa yang terjadi di rumah sambil nangis, ada pula yang sambil tertawa. Lha saat mendengar ini, ekspresi dan mata kita harus kompak dengan mereka. Kadang saya serba salah juga ketika tiga anak menceritakan hal yang berbeda dalam satu waktu di depan saya. Noleh kanan, depan, kiri, kanan, depan, kiri begitu seterusnya. Karena capek, saya minta mereka satu persatu cerita dan yang lain mendengarkan. Selain menjadi pendengar yang baik, saya berusaha mencari tahu apa kesenangan mereka dengan cara menjalin komunikasi dengan orang tua. Menanyakan hal-hal yang tidak disukai dan tidak disukai si kecil. Paling ndak 2-3 bulan sekali saya harus tahu bagaimana perkembangan anak di sekolah dan di rumah.

  6. Kata positif. Untuk apapun yang mereka lakukan, saya terus mengingatkan diri sendiri, kalau mereka masih anak-anak. Sudah dunianya ingin main. Jadi untuk apapun yang mereka lakukan, meski menyebalkan, membuat ngelus dada, menyenangkan, ataupun menyedihkan kita harus punya stok kata positif. Missal pas pelajaran menggambar. Ada anak yang belum mau nggambar. Dan biasanya teman lain akan berkomentar, “Bu kertas A masih kosong!”. “Ehm… Mbak A masih mencari inspirasi. Dia ingin menggambar gambar yang luar biasa!” atau “Mbak A masih menggambar salju! Keren! Ntar saljunya dikasih apa gitu mbak, biar tambah sip!” dan beberapa ungkapan yang lain.

  7. Pujian. Ini sangat penting. Saat ini saya menghindari punishment, meski terkadang itu menjadi hal yang perlu dilakukan. Cumin, saya berpikir ratusan kali untuk kata punishment ini. Terkait poin ini insyaAllah akan saya tulis di catatan yang lain.

  8. Selalu membawa nama mereka (satu persatu dan detail) dalam doa kita. Kesuksesan anak, perubahan yang lebih baik yang dialami si kecil adalah tak lain karena Allah. Ini yang saya tekankan. Mereka pintar bukan karena saya! Saya hanya sebagai perantara saja. Intinya, semua yang terjadi adalah karena pertolongan Allah. Siapa Fauziah? Jika Allah menampakan satu kejelekan saya saja, pasti image fauziah akan menurun. Nama kita baik karena Allah menutupi kelemahan kita. Intinya yang saya lakukaan adalah menabung energy positif sebaik-baiknya. Berdoa dan berusaha.


Bismillah, semoga kita bias menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi. Amin…

Malang, 19 April 2012