twitter
rss



“Fik..ayo lari..!” teriakku.

“Ntar, aku nyiapin lagu buat nanti,” katanya, tetep pada posisi jalan santai ma Uyun.

“Lebih baik nggak telat, jadi nggak nyanyi!,” ujarku.

“Dah kamu duluan..” katanya.

“Ok.. sorry ya..” teriakku.. akupun meluncur menuju kelas. Masih ada waktu tujuh menit. Kupercepat lariku. Semoga tidak ada hukuman menyanyi di depan kelas. Apalagi ini di hari pertama aku kuliah. Uhf… mata kuliah yang member hukuman menyanyi bagi mahasiswanya yang terlambat.

Tapi….

Ketika…

Kubuka pintu kelas…

Teriakan penghuni ruangan itu berteriak.., “Zie..nyanyi!” sambil tepuk tangan.

Hwua.. tidak.. bukankah masih tiga menit lagi?

“Maaf Bu, bukankah masuknya pukul 15.45?” tanyaku.

“Siapa bilang? Masuknya jam berapa?” bertanya pada teman-teman mahasiswa.

“15.30!” jawab teman-teman serempak.

Hwua…

“Bu, saya tidak bisa menyanyi,” kataku penuh harap.

“Bisa nggak bisa, yang penting nyanyi. Nyayi apa saja,” hiks hiks.. aku berdiri bersama Ingkang dan Fetty. Tak lama kemudian Nampak Uyun dan Fika. Kedatangan mereka disambut sorak sorai teman-teman sekelas.

Hwua nyanyi apa? Aku paling nggak hobi nyanyi! Sebenarnya suka sih, tapi aku nyadar diri. Percaya ndak percaya pasti ayam-ayam akan berlarian ketika mendengar suaraku, bebek akan bersembunyi dan melindungi gendang telinganya. Dan hebatnya lagi, kaca-kaca pasti bergetar ketika lisan ini mengalunkan syair-syair penuh makna itu.

“Nyanyi..nyanyi…nyanyi…” teriak teman-teman.

Kuambil nafas dalam-dalam… hembuskan. Kuulang sampai beberapa kali.

“Nyanyi apa ya?”

Beberapa dari teman-teman mengajukan judul lagu-lagu terkini. Dengan tenang kujawab, “ndak hafal,”

Ada yang neyeletuk “Dah lagu kebangsaan saja,”

Wah ide bagus tuhh! Selain teksnya sedikit, juga lagu-lagu itu dah kupelajari dari kecil.

Kupasang senyum dan kutundukkan kepala sedikit, tak lupa kupelankan suara. Lisanku mulai menyanyikan lagi Garuda Pancasila. But… mengapa di tengah-tengah aku lupa syairnya. Aku terdiam… dibarengi tawa teman-teman.

“Yang lain,” teriak mereka.

Kembali dengan sikap seperti patung aku mencoba menyanyikan lagu Padamu Negeri. Awalnya lancar..tapi mengapa aku lupa lagi! Piuh jadi ilfiil.

“Masak guru lupa lagu kebangsaannya sendiri?” yanya dosenku. Aku hanya bisa nyengir. Heran juga mengapa tiba-tiba lupa ya. Apa ini karena aku nervous? Padahalkan di sekolah aku pelatih upacara. Otomatis sebagai pelatih paduan suara juga. Hua… mengapa aku benar-benar ndak ingat teksnya?

Satu lagu lagi kucoba Satu Nusa Satu Bangsa. Alhamdulillah lancar! Tak kusia-siakan saat itu, saat dimana aku segera mencari bangku kosong, duduk dan menyembunyikan wajah malu-ku.

Ingatanku melayang pada tragedy beberapa minggu yang lalu, saat diri ini berulang kali aku melobi agar tidak menjadi pelatih upacara. Siapa aku? Nyanyi nggak bisa, baris ntar tertiup angin, tinggi ngepres, suara kecil tinggi, uhf… but mengapa yang dipilih aku?

Saat itu aku melatih upacara anak-anak kelas lima. Alhamdulillah bagian protokol, pembaca UUD 1945, pembawa bendera, dan pemimpin upacara sudah siap, mereka menujukan tampilan yang membanggakan. Tapi ada satu yang masih membuatku urung membuyarkan barisan itu, paduan suara!

Saat itu paduan suara tidak hapal lagu kebangsaan yang akan dinyanyikan di bagian terakhir upacara. Kami mencoba beberapa lagu, tapi…

“Minta tolong, semuanya menghafalkan lagu kebangsaan ya. Ada waktu satu hari dan ibu harap hari senin semuanya hapal,” pintaku.

Mereka serempak menjawab “ya”

“Zie, dengerin! Jangan ngelamun saja,” teman di sebelah membuyarkan lamunan.

“Nak, sepertinya Ibu harus mengulang hapalan juga deh,” batinku.

Kurasakan ada bintang-bintang di sekitar kepala.

Sumberpucung, 2006

0 komentar:

Posting Komentar